Media terkadang digunakan sebagai alat politik oleh partai politik atau politisi tertentu, terlebih media penyiaran, kata Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2 Media) Amir Effendi Siregar.
Media penyiaran menggunakan ranah publik dalam melangsungkan aktivitas penyiarannya, kata Amir saat diskusi "Independensi Media Penyiaran di Tahun Politik" di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Rabu(11/12).
"Media penyiaran seperti televisi dan radio itu mereka menggunakan frekuensi publik. Dengan begitu jika materi siarannya bermuatan kepentingan politik dari segelintir golongan tentunya mereka tidak benar," katanya
"Berbeda halnya jika mereka menggunakan media cetak yang tidak menggunakan ranah publik. Media cetak lebih bebas daripada media penyiaran untuk dimanfaatkan pemiliknya," katanya lagi.
Amir Effendi mencontohkan beberapa politisi dapat saja menggunakan medianya untuk kepentingan politiknya secara leluasa.
"Terserah pemilik jika berbicara masalah media cetak. Tapi resikonya adalah jika pembaca tidak menyukai isinya yang melulu tentang kepentingan politik pemilik media. Ujung-ujungnya koran itu bisa dibuang ke tong sampah," kata dia.
Dalam diskusi tersebut, dia meyakini insan media akan menemui dilema menjelang tahun politik Pemilu 2014. Alasannya "newsroom" dapat diintervensi oleh kekuasaan tertentu seperti oleh pemilik media.
Namun ia mengatakan tidak ada media yang independen di belahan dunia manapun. "Tidak ada media independen secara murni. Akan tetapi yang ada adalah media-media itu berusaha mendekati nilai-nilai independen seoptimal mungkin," katanya.