ilustrasi |
N |
apoleon Bonaparte pernah mengatakan ” Saya lebih takut menghadapi pena Jurnalis daripada seribu bayonet musuh,” Napoleon Bonaparte merupakan seorang pangima perang sekaligus pemimpin Prancis pada masanya.
Kata kata tersebut mungkin dianggap berlebihan bagi sebagian orang, terlebih ungkapan tersebut dikeluarkan oleh seorang panglima perang Perancis, sosok hebat yang telah memimpin berbagai peperangan di Eropa.
Ia memiliki
pengaruh yang besar terhadap persoalan-persoalan Eropa selama lebih dari satu
dasawarsa ketika memimpin Prancis.
Secara historis, Napoleon memenangkan peperangan hampir
di semua pertempuran dan dengan cepat memperoleh kendali atas Eropa.
Dalam persoalan-persoalan sipil, Napoleon
mempunyai sebuah pengaruh yang besar dan lama dengan membawa pembaruan liberal
ke negara-negara yang ia taklukkan, terutama ke Negara-Negara Rendah, Swiss,
Italia, dan sebagian besar Jerman.
Tapi kenapa Napoleon takut dengan pena Jurnalis? Katanya "
Saya lebih takut menghadapi satu pena wartawan daripada seribu bayonet musuh.”
Bagi kita, mungkin ungkapan tersebut hanyaah sebuah
kata hiperbolik yang di lebih-lebihkan.
Tapi tidak bagi Napoleon Bonaparte. Baginya sudah banyak lawan yang ia taklukan, musuh yang ia bunuh, tetapi para tentara itu mati kerena timah peluru dan dianggap biasa saja.
Huruf-huruf dan kata-kata yang disusun serta dirangkai menjadi sebuah kalimat yang dibuat oleh para Jurnalis itu lebih berbaya dari sebuah peluru panas dan meriam.
Sebab, sebuah peluru dan meriam itu hanya akan mengenai badan membuat lawan menjadi tumbang.
Tapi tidak dengan tulisan para Jurnalis, tulisan dan kata-kata itu huruf itu akan mengenai otak dan menyusuk hati.
“ Dari otak itu kemudian mengubah kognisi. Dari
kognisi mengubah afeksi dan psikomotorik. Lambat laun, Jurnalispun bisa menggerakkan
banyak orang se Kampung, se-Kota, se-Provinsi, se-Bangsa bahkan seluruh Dunia”
Dari ungkapan tersebut jelas betapa jurnalis atau wartawan memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga seorang Napoleon yang sangat berkuasa begitu ketakutan dengan tajamnya kata dan kalimat wartawan saat itu.
Masa kini ketajaman pena wartawan terus menjadi momok bagi sebagian orang apalagi mereka yang sedang berkuasa dan tidak mau dikritik atas kebijakannya.
Jurnalis sendiri
memiliki fungsi seperti melakukan edukasi, menghibur, mempengaruhi pendapat masyarakat
sekaligus sebagai kontrol sosial bagi para penguasa termasuk masyarakat umum.
Sejak kelahirannya, eksistensi pers/jurnalis selalu diuji. Ini bukan hanya soal keberlanjutannya, melainkan juga soal perannya. Peran kontrol sosial membawa konsekuensi soal independensi. Pers tidak boleh berpihak, kecuali pada kebenaran.
Baca Juga : Perang Pemikiran Perang Modern
Maka wajar jika pers menjadi pengkritik keras segala isu. Namun, perkembangan pers menunjukkan mudahnya kritisme berubah menjadi pemberitaan negatif, bahkan sensasional.
Akibatnya, adagium terkenal dari industri pers ialah bad news is good
news atau bad news sells.
Meski tugas berat
sebagai jurnalis untuk menerima tantangan di lapangan karena berbagai problem
dihadapi. Yakinlah ketika sensor berkuasa, ketika kekuasaan menindas akal
sehat, maka jurnalisme harus melawan.
Karena tugasnya Jurnalis yang sangat mulia membuat para pembacanya bisa menjadi
saksi sejarah, karya fiksi memberi kesempatan kepada pembacanya untuk
menghidupkannya.
Saya teringat pada
catatan pendek Gilbert Keith Chesterton seorang Penulis dari Inggris
(1874-1936) pernah mengungkapkan bahwa tugas wartawan menjalankan peliputan
serta menulis itu berat karena mengungkap hal fiksi menjadi fakta.
"Jurnalis itu
populer, tetapi populer terutama sebagai fiksi. Hidup adalah satu dunia, dan
kehidupan yang terlihat di koran adalah dunia lain," katanya.
Sedangkan, Alvin
Toffler seorang Penulis dan Futurolog Amerika dikutip tulisan pendeknya
mengatakan buta aksara itu bukan milik mereka yang tak bisa membaca dan
menulis, melainkan bagi mereka yang tidak ingin belajar.
" Buta huruf
tentang masa depan bukan bagi mereka yang tidak bisa membaca atau menulis. Tapi
mereka yang tidak bisa belajar, meninggalkan belajar, dan mengulangnya," Demikian
kutipan ucapan Alvin Toffler.
Menjadi seorang wartawan bukanlah hal yang mudah karena dibutuhkan passion yang hebat dalam hal kesungguhan menggali informasi.
Ketika seorang jurnalis sudah turun lapangan
maka di situlah dia berjuang dengan segenap upaya untuk mendapatkan informasi
yang berharga di tengah masyarakat.
Sejak kelahirannya, eksistensi pers selalu diuji. Ini bukan hanya soal keberlanjutannya, melainkan juga soal perannya. Peran kontrol sosial membawa konsekuensi soal independensi.
Pers tidak boleh berpihak, kecuali pada kebenaran. Maka wajar jika pers menjadi
pengkritik keras segala isu.
Eksistensi jurnalis
belakangan ini mendongkrak kemajuan. Goresan tulisan dan peryanyaan menggelitik
dirasakan seperti tembakan peluru.
Perjuangan seorang
jurnalis akan terasa sangat berat ketika menghadapi perlawanan karena pekerjaan
tidak mudah dan juga tidak menyenangkan.
Dari perpustakaan
buku-buku di zaman kita, ragamnya begitu banyak, dan mereka mengikuti begitu
cepat dari jurnalis sehingga orang harus menjadi pembaca yang cepat untuk
memperkenalkan dirinya bahkan dengan judul-judulnya.
Perkembangan saat ini,
walau seorang jurnalis bukanlah profesi yang bisa membuat seseorang kaya dalam waktu
instan, profesi inilah yang berkontribusi besar dalam kemajuan demokrasi suatu
negara.
Tugasnya memang mengungkap fakta dan mengoreksi. Tapi
mengkritiklah dengan membangun menggunakan solusi bukan semata karena sensi.
Lakukan hal terbaik sebagai jurnalis. Yang terpenting
seorang jurnalis harus berlaku independen dan terbebas dari belenggu cengkraman
kekuasaan baik itu yang berasal dari pemerintah ataupun swasta.
Wartawan, atau jurnalis adalah profesi yang melakukan aktivitas jurnalistik yang menghasilkan berita baik dalam bentuk tulisan, video atau audio yang dikirimkan ke media massa.
Profesi ini biasanya turun langsung ke lapangan untuk mendapatkan data
yang dicari kemudian melaporkannya kepada lembaga pers.
Baca Juga : Media Terkadang Dijadikan Alat Politik
Dengan bahasa yang kian menggelitik, penuh bumbu-bumbu yang menggoda pembaca tentu menjadi instrumen bahwa bahasa itu ibarat senjata dan kata adalah peluru.
Jika
menembak seseorang dengan pemberitaan akan membuat gemetar.
Selain dilindungi oleh
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Oleh sebab itu setiap wartawan
dituntut tetap memegang kode etik.
Menjadi wartawan juga tidak gampang. Pertanggungjawabannya dunia akhirat.
Setiap orang yang dirugikan
akibat pemberitaan diberikan hak jawab yaitu hak seseorang atau sekelompok
orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa
fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak jawab digunakan
ketika pemberitaan di media, baik media cetak, media siber, maupun media
elektronik, bertolak belakang dengan fakta yang terjadi dan mencemarkan nama
baik seseorang atau sekelompok orang.
Ketika hak jawab
diberikan pers memiliki hak koreksi yakni hak setiap orang untuk mengoreksi
atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh wartawan, baik tentang
dirinya maupun tentang orang lain.
Mengutip tulisan di berbagai opini. Peran jurnalis selalu diuji. Dengan kata lain, kabar buruk lebih menjual jika dibandingkan dengan kabar baik.
Meski telah mampu
menghidupkan industri, candu pemberitaan negatif juga menjadi bumerang.
Sudah beberapa dekade
ini timbul apatisme masyarakat global akibat kejengahan akan berita-berita
muram itu. Hasilnya, media arus utama yang mulai ditinggalkan.
Bagaimanakah wujud
kontrol sosial itu dalam kegentingan dunia saat ini? Pertanyaan itu tidak
berlebihan. Sebab, tanggung jawab pers sebenarnya tidak lebih ringan dari
mereka yang berada di garda terdepan.
Tidak heran, paham jurnalisme konstruktif makin disuarakan keberadaannya.
Jurnalisme konstruktif bukan sekadar good news is good news atau sekadar memproduksi lebih banyak berita positif, melainkan jurnalisme yang menciptakan lebih banyak pengetahuan.
Dengan kata lain, pers tidak hanya menyuarakan informasi, tetapi juga ikut
menginspirasi solusi