Syekh Izzuddin Al-Qassam Sumber: Wikipedia |
Analisapos.com, Internasional- Harakatu al-Muqawwamah al-Islamiyah (Hamas) memiliki sayap militer, yakni Brigade Izzuddin al-Qassam. Nama ini diambil dari seorang pejuang, Syekh Izz ad-Din (Izzuddin) al-Qassam. Tokoh itu lahir di Jablah, sebuah kota pesisir Suriah, pada 19 Desember 1882. Ketika itu, Suriah dan Palestina termasuk dalam Syam, sebuah provinsi di bawah kendali Kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
Ayahnya, Abdul Qadar, merupakan seorang kadi dan sekaligus mursyid Tarekat Qadariyah. Kepemimpinan sang ayahanda di aliran sufisme tersebut mengikuti jejak pendahulunya, yakni kakek Izzuddin yang berasal dari Irak.
Izzuddin menerima pendidikan dasar di Syam. Di bawah bimbingan orang tua dan guru-gurunya, ia menekuni ilmu fikih, khususnya mazhab Hambali. Salah seorang alim tempatnya menimba ilmu ialah Syekh Salim Tayarah, yang termasuk mula-mula mengajarkan kepadanya urgensi jihad fii sabilillah.
Pada 1902, Izzuddin al-Qassam bertolak ke Kairo (Mesir) untuk menempuh studi lanjut di Universitas al-Azhar. Menurut Mark Sanagan dalam disertasinya untuk McGill University (2016), atmosfer intelektual dan keagamaan setempat amat mempengaruhi Izzuddin. Ketika itu, modernisme Islam menjadi diskursus yang hangat di al-Azhar.
Izzuddin belajar pada Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridha. Keduanya merupakan tokoh penting reformis Islam. Mereka memberikan pengaruh besar bagi pemuda Syam tersebut, termasuk dalam melihat permasalahan dunia Arab-Islam pada masa itu.
Pergaulannya di al-Azhar turut membentuk jiwa aktivisnya. Perlahan namun pasti, Izzuddin dikenal sebagai seorang dai muda yang berpikiran progresif. Ia banyak mengkritik sikap jumud dan stagnan kaum Muslimin saat itu. Mengikuti kedua gurunya, dirinya pun menyerukan pentingnya modernisme Islam untuk menandingi hegemoni Barat yang bekerja melalui imperialisme dan kolonialisme.
Pada 1909, Izzuddin kembali ke kampung halamannya. Di Jablah, ulama muda ini kemudian mengajar fikih dan ilmu tasawuf di sebuah madrasah setempat. Selain itu, dirinya juga diangkat menjadi imam Masjid Ibrahim bin Adham.
Tekadnya untuk berdakwah amar ma’ruf nahi munkar begitu besar. Dalam berbagai kesempatan, ia menyerukan kebangkitan umat Islam, pertama-tama melalui pemantapan iman, akhlak, dan ibadah. Di antara nasihat-nasihatnya ialah menjaga shalat lima waktu, berpuasa sunah, serta menghindari judi dan mengonsumsi minuman keras.
Caranya berdakwah menimbulkan simpati masyarakat. Dalam waktu yang relatif singkat, Syekh Izzuddin memperoleh banyak pengikut. Mereka bertekad untuk menguatkan dan menerapkan modernisme Islam.
Negeri Syam pada masa itu mulai terkontaminasi budaya-budaya Barat yang berseberangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, anak-anak muda tidak malu-malu lagi untuk menenggak minuman beralkohol di depan umum. Karena itu, Syekh Izzuddin selalu menyerukan negara dan para pengikutnya agar membasmi peredaran miras. Pernah suatu kali, ia menyuruh murid-muridnya supaya mencegat sejumlah kendaraan pengangkut botol-botol khamar, yang kemudian disitanya secara paksa untuk dimusnahkan.
Menurut Sanagan, tokoh ini agak berbeda dari kebanyakan lulusan al-Azhar yang seangkatan. Bila mereka menghendaki bangkitnya nasionalisme Arab, Syekh Izzuddin cenderung mendukung persatuan bangsa Arab di bawah Kekhalifahan Utsmaniyah. Bagaimanapun, ia tidak pernah memandang perbedaan secara diametral. Apa pun afiliasi politik seorang Muslim, baginya bukanlah masalah selama mengutamakan ukhuwah Islamiyah.
Pada September 1911, Italia mulai menginvasi Libya. Di Jablah, Syekh Izzuddin bersama sejumlah ulama menggalang dukungan untuk gerakan perlawanan rakyat dan pasukan Utsmaniyah di Libya. Bahkan, sang syekh juga menggubah lagu-lagu pembangkit semangat para pejuang di sana.
Pada Juni 1912, Syekh Izzuddin saat mengisi khutbah Jumat mengajak jamaah untuk turut berjihad ke Libya demi melawan agresi Italia. Kemudian, Izzuddin menghimpun para sukarelawan, terutama yang sebelumnya pernah menerima pelatihan militer Utsmaniyah di Jablah. Di samping itu, ia juga menggalang donasi untuk membiayai keberangkatan mereka maupun belanja bulanan keluarga yang ditinggalkan para sukarelawan di Jablah. Tercatat, dari kota tersebut sebanyak 60 hingga 250 sukarelawan berangkat ke Libya.
Namun, ratusan orang itu kemudian tertahan di Iskanderun, Turki selatan. Awalnya, mereka hendak menumpangi kapal laut untuk berlayar ke Libya. Akan tetapi, otoritas Utsmaniyah setempat tidak memberikan izin dengan alasan, kekuatan militer Kekhalifahan sekarang berfokus pada pertempuran di Balkan, alih-alih Libya. Terpaksa, mereka kembali ke Syam. Sisa uang donasi yang ada kemudian digunakan untuk membangun sebuah madrasah di Jableh.
Beberapa waktu kemudian, Perang Dunia I pecah. Syekh Izzuddin lalu mendaftarkan diri pada militer Utsmaniyah. Begitu diterima, ia turut dalam berbagai pelatihan militer hingga diterjunkan ke markas pasukan Utsmaniyah di dekat Damaskus.
Beberapa bulan sebelum PD I berakhir, ia bersama dengan sejumlah personel dipulangkan ke Jablah. Bagaimanapun, semangat jihadnya tetap membara. Di kampung halaman, Syekh Izzuddin bersama para tokoh lokal menggalang dana dan mobilisasi untuk mengerahkan milisi ke Libya, yang sedang menghadapi agresi Prancis.
Menjelang tahun 1919, pasukan Prancis mendarat di pantai Syam utara. Sementara itu, Faisal I mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Suriah yang beribu kota di Damaskus. Dalam masa-masa genting ini, milisi yang dibentuk Syekh Izzuddin di Jablah berjuang melawan laskar-laskar Alawi yang disokong Prancis.
Akan tetapi, pergerakan pasukan Prancis dan laskar-laskar pendukungnya tak terbendung. Akhirnya, Jablah dapat dikuasai agresor tersebut sehingga Syekh Izzuddin dan para pengikutnya hijrah ke Gunung Sahyun. Di sanalah, ia mendirikan markas milisi di dekat Desa Zanqufeh guna meneruskan perlawanan-perlawanan terhadap Prancis secara gerilya.
Untuk menekan mereka, pihak Prancis memaksa para tuan tanah di Jablah untuk menghentikan bantuan kepada Syekh Izzuddin dan milisnya. Tindakan itu semakin mempersempit ruang gerak para pejuang di Gunung Sahyun. Sang syekh dan para pengikutnya lalu berpindah ke Halab (Aleppo) pada Mei 1920. Kemudian, pasukan Prancis mengepung mereka. Izzuddin berhasil lolos dan bergerak menuju Tartus, sebuah kota pesisir Syam barat.
Di Tartus, Syekh Izzuddin lalu berangkat ke Haifa melalui Beirut dengan kapal laut bersama istri dan anaknya. Haifa ketika itu bukan lagi di bawah kendali Utsmaniyah, melainkan Inggris. Pada 1920-an, sang syekh menjadi guru di madrasah setempat.
Syekh Izzuddin bukan hanya sibuk mengajar, tetapi juga berdakwah langsung di tengah umat setempat. Sang dai berdakwah di mana saja, mulai dari masjid-masjid, tabligh-tabligh akbar, hingga tempat-tempat yang kerap dilabeli “sarang maksiat”, semisal kedai miras atau lingkungan prostitusi. Hal itu menjadikannya seorang ulama yang dekat dengan masyarakat.
Pada 1929, Syekh Izzuddin menjadi kadi di kantor urusan agama Haifa, yang berada di bawah otoritas wakaf di Baitul Makdis (Yerusalem). Dalam menjalankan tugasnya, ia kerap bepergian ke daerah-daerah Palestina utara. Masyarakat lokal menyambut baik kedatangan dan dakwah yang dilakukannya.
Bersambung bagian II
Tulisan ini dikutip dari Republik@.id